Saatini, beliau menjadi pengasuh di Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang. Karya tulisnya banyak tersebar di media massa dan dibukukan, mengupas masalah keislaman, politik, sosial, budaya. Gus Mus telah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi, antara lain: (1). Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem, (2). Tadarus, Antologi Puisi, (3).
Kumpulanpuisi gus mus (kh. Kau ini bagaimana atau aku harus bagai mana kau ini bagaimana? Kumpulan syair dan puisi gus mus sujud bagaimana kau hendak bersujud pasrah, sedang wajahmu. Kh mustofa bisri, atau akrab disapa gus mus, ulama asal rembang yang juga seorang penyair ini, membacakan puisi lamanya yang berjudul aku .
PuisiGus Mus; Puisi Gus Mus. 06 March 2016 23:59 By Admin. Share Tweet Google+ Pinterest. Islam agamaku nomor satu di dunia Tuhan, Islamkah aku? Share Tweet Google+ Pinterest. Populer Terkini. Penyidik Gakkum KLHK Serahkan Tersangka PETI Serta Barang Bukti ke Kejari Parimo. 17 hours ago
MAGELANG Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) mengimbau masyarakat agar menyikapi Pilkada Jawa Tengah yang bakal digelar 2018 secara tidak berlebihan. "Masalah pilkada itu masalah lima tahunan, tetapi disikapi secara berlebih-lebihan, seolah-olah sampai hari kiamat," kata Gus Mus di Magelang, Sabtu (6/5/2017) malam.
GanjarPranowo dituduh Islamfobia dan tidak pro Islam karena membacakan puisi KH Mustofa Bisri (Gus Mus).
_GusMus_ CINTAMU. bukankah aku sudah mengatakan kepadamu kemarilah. rengkuh aku dengan sepenuh jiwamu. datanglah aku akan berlari menyambutmu. tapi kau terus sibuk dengan dirimu. kalaupun datang
xQav4oS. Home » Kongkow » Puisi » Puisi Islam - Jumat, 09 Oktober 2020 1900 WIB Islam agamaku, nomor satu di dunia Islam benderaku, berkibar dimana-mana Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya Islam sorbanku Islam sajadahku Islam kitabku Islam podiumku, kelas eksklusif yang mengubah cara dunia memandangku Tempat aku menusuk kanan-kiri Islam media-massaku, gaya komunikasi islami masa kini Tempat aku menikam sana-sini Islam organisasiku Islam perusahaanku Islam yayasanku Islam instansiku, menara dengan seribu pengeras suara Islam muktamarku, forum hiruk-pikuk tiada tara Islam bursaku Islam warungku, hanya menjual makanan sorgawi Islam supermarketku, melayani segala keperluan manusiawi Islam makananku Islam teaterku, menampilkan karakter-karakter suci Islam festivalku, memeriahkan hari-hari mati Islam kausku Islam pentasku Islam seminarku, membahas semua Islam upacaraku, menyambut segala Islam puisiku, menyanyikan apa Tuhan, Islamkah aku? Sajak puisi yang berjudul “PUISI ISLAM” ini di karang oleh GUSMUS, suka kata - kata terakhirnya ; “Tuhan, Islamkah aku?” Sumber Cari Artikel Lainnya
Pengantar Najwa Shihab dalam acara teve Mata Najwa edisi Gus Mus dan Negeri Teka-teki menggambarkan sosok Gus Mus sebagai ulama yang fasih mengucapkan aneka dalil sekaligus budayawan yang aktif melakoni beragam kesenian mutakhir. Kata Najwa, “…kepada Gus Mus kita dapat belajar tentang menjadi islam sekaligus Indonesia.” Demikian. Belum terlalu lama, Yayasan Yap Thiam Hien memberi penghargaan Yap Tiap Thiam Hien Award yang fokus di bidang perjuangan Hak Asasi Manusia HAM kepada Gus Mus. Agak nakal Gus Mus menyebut penghargaan yang diberikan kepadanya itu sebagai hal yang “lebay”. Menurut beliau, penghargaan itu tidak cocok dengan kegiatan beliau selama ini yang tidak lantang berjuang di bidang HAM. Hadir dalam Mata Najwa Trans TV edisi 13 Juni 2018 ialah Todung Mulya Lubis, ketua Yayasan Yap Thiam Hien. Menanggapi istilah “lebay” dari Gus Mus ia memberi penjelasan lekas masuk akal bagi pemirsa. Kendati menurut sebagian orang Gus Mus bukan pejuang HAM, Yayasan Yap Thiam Hien menyikapinya berlainan. Jajaran yayasan meneliti rekam jejak Gus Mus lantas berani mengatakan bahwa selama ini segala yang dikerjakan Gus Mus ialah untuk HAM walaupun Gus Mus tidak pernah menyebut-nyebut tentang Hak Asasi Manusia. Membela hak untuk beribadah, membela hak untuk beragama, membela keberagaman, membela kedamaian, menolak segala bentuk korupsi dan sebagainya. Itulah deretan alasan yang menyatakan bahwa Gus Mus sosok yang tepat untuk menerima penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2017. Pernyataan Todung yang perlu saya kutip ialah kejujurannya menyatakan bahwa jalan Gus Mus dalam membela HAM berlainan dengan Munir Thalib—aktivis HAM yang jelas kita kenal rekam jejaknya. “Gus Mus memang tidak ikut kamisan. Gus Mus ini bukan Munir yang berteriak lantang. Tapi dari puisi-puisi, khotbah, dan semua yang dilakukan oleh Gus Mus, memang memberikan semua komitmennya untuk membangun Indonesia yang hormat terhadap hak asasi manusia”. Rimbun Inklusivitas Puisi Gus Mus adalah kiai yang gemar menulis puisi. Puisi-puisinya menyuarakan berbagai permasalahan sosial dan terutama juga merepresentasikan nilai-nilai Islam yang inklusif. Banyak di antara puisi yang ditulisnya di kurun waktu 1990an masih relevan dengan geliat laju zaman terkini. Meski mengaku tak pernah belajar pengetahuan mengenai nasionalisme, hak asasi manusia, dan beragam ilmu pengetahuan modern ala barat, nyatanya beliau seorang nasionalis yang memiliki ragam pengetahuan modern yang tak kalah baik dengan pengetahuannya tentang islam. Puisi-puisinya menjadi bukti kedalaman pikir Gus Mus menapaki jalan berpengetahuan dan beragama dalam kaidah sosial Indonesia. Kita simak sedikit Tebak saja/Jangan tanya siapa/Membunuh buruh dan wartawan/Siapa merenggut nyawa/Yang dimuliakan Tuhan/Tebak saja/Jangan tanya siapa/Membakar hutan dan emosi rakyat/Siapa melindungi penjahat keparat/Jangan tanya mengapa Negeri Teka-teki, 1997. Pembaca lekas menduga Gus Mus memiliki basis pengetahuan atawa informasi yang memadai terkait beragam permasalahan negeri. Konflik buruh dengan perusahaan, penganiayaan wartawan, pembakaran hutan untuk pembukaan lahan baru, para koruptor yang nyenyak tiduran di sofa pemerintahan. Sebagai penyair beliau tak tegas menyebut negeri dalam puisi ialah negeri yang dicintainya Indonesia Raya. Pembaca disilakan menafsir sendiri sebab penyair telah memilih lema “Negeri Teka-teki” sebagai judul puisi. Tebak saja dan jangan tanya, katanya. Puisi lain yang dapat ditafsir sebagai permenungan Gus Mus ihwal momentum besar dalam Islam dan kesadaran beliau mengenai perlunya menjaga keseimbangan hubungan dengan semesta alam. Puisi itu berjudul “Selamat Idul Fitri”, dipublikasikan di akun Facebook pribadinya pada 29 Agustus 2011 lalu. Kita perlu menyimak dengan khidmat yang agak panjang Selamat idul fitri, bumi/Maafkan kami/Selama ini/Tidak semena-mena/Kami memerkosamu//Selamat idul fitri, langit/Maafkan kami/Selama ini/tidak henti-hentinya/ Kami mengelabukanmu//Selamat idul fitri, mentari/Maafkan kami/Selama ini/Tidak bosan-bosan/Kami mengaburkanmu//Selamat idul fitri, burung-burung/Maafkan kami/Selama ini/Tidak putus-putus/Kami membrangusmu//Selamat idul fitri, tetumbuhan/Tidak puas-puas/Kami menebasmu//. Sebagai salah seorang tokoh yang dituakan dalam organisasi islam sebesar Nahdlatul Ulama NU, Gus Mus terbaca sebagai sosok yang berani jujur menanggapi kehidupan beragama dalam realitas sosial. Mari kita baca puisinya yang berjudul “Puisi Islam”. Islam organisasiku/Islam perusahaanku/Islam yayasanku//Islam istanaku, menara dengan seribu pengeras suara/Islam muktamarku, forum hiruk pikuk tiada tara…/Islam teaterku menampilkan karakter-karakter suci/Islam festivalku memeriahkan hari-hari mati…/Islam seminarku, membahas semua/Islam upacaraku, menyambut segala/Islam puisiku, menyanyikan apa saja//Tuhan Islamkah aku? NU jelas organisasi Islam tempat Gus Mus aktif berkegiatan. Tradisi tempat ibadah kaum muslimin khususnya di Indonesia karib dengan pengeras suara untuk berbagai peristiwa berkelindan dengan ibadah mengumandangkan azan, iqamah, melakukan puji-pujian, khotbah. Muktamar ialah bahasa khas NU dan ormas islam lain di Indonesia dalam menamai pertemuan tertinggi guna merumuskan penyelesaian atas permasalahan yang ada dalam tubuh keorganisasian. Puisi diakhiri dengan pertanyaan penyair yang lekas jadi pertanyaan bagi pembaca dan susah peroleh jawab. Tuhan, Islamkah aku? Buah dari Pohon Pendidikan Kampung Mengaku tak pernah mengenyam pendidikan modern dan baru belakangan belajar mengenai ilmu-ilmu pengetahuan modern barat dari kecanggihan media internet, Gus Mus tumbuh di lingkungan pendidikan pondok pesantren sejak belia. Pendidikan yang diterima Gus Mus ialah pendidikan tradisional berbasis pesantren. Menarik ketika beliau menceritakan ihwal gurunya di masa-masa belajar di pondok pesantren dulu. Beliau menyebut gurunya sebagai orang kampung, kiai kampung. Kepada Gus Mus, kiai itu pernah bilang begini “Kamu itu manusia punya hak, tapi juga punya kewajiban. Dalam bahasa arab, al-haqqu bisa berarti hak, bisa berarti kewajiban. Jangan pikirkan hakmu, tapi pikirkan kewajibanmu terhadap hak orang lain, orang lain memiliki hak sebagai manusia, maka hargailah itu sebagai tanggung jawabmu”. Kecanggihan pandangan sang guru membekas kian dalam, menghunjam dan leram dalam diri Gus Mus. Segala kegiatan dan karya-karya puisi Gus Mus rasa-rasanya memang terbaca menuju ambisi menghargai hak orang lain. Sebagai warga negara Indonesia, ia juga seorang republikan tulen yang memegang penuh kecintaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Rasa cinta kepada tanah air rupanya juga buah dari pendidikan sang guru kampung. Pesan sang guru perlu saya kutip penuh sebagai berikut. “Indonesia ini rumahmu, jaga, rawat. Orang yang ada di Indonesia adalah saudara-saudaramu. Ada yang setara ayahmu, kakekmu, ibumu, adik-adikmu. Maka itu jaga. Ini rumahmu tempat kau dilahirkan, tempat kau menghirup udaranya, tempat kau bersujud, tempat kelak mungkin kau dikebumikan. Jaga dan rawat. Sesederhana itu.” Belajar menjadi Islam dan kemudian Indonesia sejatinya memang sederhana pabila kita membaca sosok Gus Mus beserta karyanya. Berpegang pada dua lema kunci yakni “jaga dan rawat” kita lekas perlu lebih banyak menjaga dan merawat keberagaman yang ada. Agama, suku, tanah, laut, udara, hak asasi manusia, dan segala hal yang berkelindan dengan Indonesia. Sudah Islamkah kita? Sudah Indonesiakah kita? Wallahu Alam Bisshawab. Author Recent Posts Tertarik dengan isu seputar perempuan, lingkungan, dan seni-budaya. Tulisannya pernah dimuat di Solopos, Kabar Madura, dan Radar Bojonegoro. Instagram lailymuallifa
— "Islam agamaku, nomor satu di dunia. Islam benderaku, berkibar di mana-mana. Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana. Islam tempat sekolahku, tak kalah dengan lainnya. Islam sorbanku. Islam sajadahku. Islam kitabku. Tuhan, Islam kah aku?" Penggalan bait di atas merupakan bagian dari puisi berjudul "Puisi Islam" yang dibacakan Mustofa Bisri dalam acara perayaan 26 Tahun Museum Rekor-Dunia Indonesia Muri di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis 28/1/2016. Ia tampil membacakan beberapa puisinya dengan diiringi permainan piano oleh Jaya Suprana, sang penggagas mulai, Jaya Suprana sempat mengungkapkan alasan mengapa ia memilih Gus Mus untuk diajak berkolaborasi. Baginya, Mustofa Bisri adalah sosok kiai yang tidak biasa. Ketertarikannya dengan kiai yang akrab disapa Gus Mus itu karena sifatnya yang jauh dari rasa haus kekuasaan dan jabatan. "Sekarang kita semua cenderung sibuk memperebutkan kekuasaan dan jabatan, tetapi kiai satu ini justru merusak pasaran. Ia mempermalukan orang lain dengan menolak jabatan. Makanya, saya undang baca puisi," ujarnya sambil bergurau. Menurut Jaya Suprana, penampilannya bersama Gus Mus merupakan sebuah simbol perwujudan dari peleburan budaya. Di tengah hawa intoleransi yang sedang menyelimuti masyarakat Indonesia, dia ingin memberikan pesan bahwa semangat keberagaman seharusnya menjadi landasan hidup bermasyarakat."Kita ini sangat hebat dalam menyerap kebudayaan luar menjadi kebudayaan Indonesia. Kita lihat bagaimana agama Islam, Kristen, Buddha, Hindu, berkembang dalam bentuk Indonesia. Ini adalah sebuah pesan bahwa kita harus menjaga keberagaman. Menjaga keberagaman itu harga mati," kata Jaya Suprana. Semangat dan pemahaman agama Sementara itu, saat ditemui usai acara, Gus Mus memberikan tanggapannya terkait fenomena radikalisme dan ekstremisme yang belakangan kembali muncul di tengah masyarakat. Menurut pandangannya, keinginan seseorang untuk bergabung dengan kelompok radikal tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Ia justru melihat faktor terbesar yang menjadi penyebab adalah kurangnya pemahaman terhadap agama. "Sering kali semangat beragama tidak diimbangi dengan pemahaman agama yang baik. Semangat dengan pemahaman beragama itu harus seimbang. Pemerintah harus menyadari, itu merupakan ancaman yang serius, dan masyarakat harus kembali pada jati dirinya sebagai orang yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab," ujar Gus Mus. Gus Mus juga memberikan kritiknya terhadap pemerintah yang tidak kreatif dalam menangani akar radikalisme. Perubahan peraturan, sebanyak apa pun, tidak akan menyelesaikan persoalan. "Dulu zaman Orde Lama, politik dijadikan panglima. Zaman Soeharto diubah menjadi ekonomi. Sekarang, politik kembali dijadikan panglima. Tidak kreatif. Mbok ya dicoba sekali-kali budaya dijadikan panglima. Kita terlalu fokus dengan ekonomi dan politik," pungkasnya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Gus Mus Aku ingin seperti santri berbaju putih yang tiba-tiba datang menghadapmu Duduk menyentuhkan kedua lututnya pada lutut agungmu Meletakkan kedua telapak tangannya di atas paha-paha muliamu Lalu aku akan bertanya! Ya Rasulullah… Tentang Islamku! Ya Rasulullah… Tentang imanku! Ya Rasulullah… Tentang ihsanku! Ya Rasulullah… Mulut dan hatiku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan engkau Ya Rasulullah utusan Allah Tapi ku sembah juga diriku Astagfirullah… Dan risalahmu hanya kubaca bagai sejarah Ya Rasulullah… Setiap saat jasad ku shalat Setiap kali tubuhku bersimpuh Diriku jua yang ku ingat Setiap saat ku baca salawat setiap kali tak lupa ku baca salam Assalamualaika ayyuha Nabiyu warahmatullahi wabarakatuh Salam kepadamu wahai Nabi juga rahmat berkat Allah Tapi, tak pernah ku sadari Apakah dihadapan ku kau menjawab salam ku Bahkan apakah aku menyalamimu Ya Rasulullah… Ragaku berpuasa dan jiwaku ku lepas bagai kuda Ya Rasulullah… Sekali-kali kubayar zakat dengan niat dapat balasan kontan dan berlipat Ya Rasulullah… Aku pernah naik haji, sambil menaikkan gengsi Ya Rasulullah… Sudah Islamkah aku? Ya Rasulullah… Aku percaya Allah dan sifat-sifatnya Aku percaya malaikat, percaya kitab-kitab suci-Nya Percaya Nabi-nabi utusan-Nya Aku percaya akhirat Percaya qada qadaar-Nya seperti yang kucatat dan ku hafal dari ustad Tapi aku tak tahu seberapa besar itu mempengaruhi laguku Ya Rasulullah… Sudah Imankah aku? Ya Rasulullah… Setiap ku dengar panggilan aku menghadap Allah Tapi apakah Ia menjumpaiku Sedang wajah dan hatiku tak menentu Ya Rasulullah… Dapatkah aku berihsan? Ya Rasulullah… Ku ingin menatap meski sekejap wajahmu yang elok mengelok Setelah sekian lama mataku hanya menangkap gelap Ya Rasulullah… Ku ingin mereguk senyummu segar setelah dahaga dipadang kehidupan hambar hampir membuatku terkapar Ya Rasulullah… Meski secercah teteskan cahayamu Buat bekalku sekali lagi menghampiri-Nya
Kutipan kalimat di atas adalah penggalan “Puisi Islam“ karya salah satu pemimpin Islamis, Indonesia, Rais Aam Nahdlatul Ulama, Kyai Haji Mustofa Bisri. Akrab dengan sebutan Gus Mus, Mustofa Bisri dikenal juga sebagai penulis kolom dan budayawan terkemuka di tanah air. Puisi tersebut kembali diperdengarkan dalam sebuah acara yang berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta, akhir Januari lalu. Acara tersebut merupakan kerjasama seni budaya antara Gus Mus dengan dengan seniman Jaya Suprana, tokoh Museum Rekor Indonesia. Apa kira-kira pesan yang ingin disampaikan Gus Mus lewat puisi ini? Lengkapnya puisi tersebut PUISI ISLAM Islam agamaku nomor satu di dunia Islam benderaku berkibar di mana-mana Islam tempat ibadahku mewah bagai istana Islam tempat sekolahku tak kalah dengan yang lainnya Islam sorbanku Islam sajadahku Islam kitabku Islam podiumku kelas eksklusif yang mengubah cara dunia memandangku Tempat aku menusuk kanan kiri Islam media massaku Gaya komunikasi islami masa kini Tempat aku menikam sana sini Islam organisasiku Islam perusahaanku Islam yayasanku Islam istansiku , menara dengan seribu pengeras suara Islam muktamarku, forum hiruk pikuk tiada tara Islam bursaku Islam warungku hanya menjual makanan sorgawi Islam supermarketku melayani segala keperluan manusiawi Islam makananku Islam teaterku menampilkan karakter-karakter suci Islam festifalku memeriahkan hari-hari mati Islam kaosku Islam pentasku Islam seminarku, membahas semua Islam upacaraku, menyambut segala Islam puisiku, menyanyikan apa saja Tuhan, Islamkah aku? Di akun facebooknya, Mustofa Bisri, menulis ia tak tahu dan tak peduli apa tanggapan para menteri, pimpinan DPR, jendral-jendral, para ustadz, para cerdik-cendekiawan, budayawan dan seniman yang hadir malam itu tentang puisinya. Bagaimana tanggapan Anda?
puisi gus mus islamkah aku